Prolog - Invitation

0 komentar


Pembukaan kafe milik Adrian

“Tara, kamu dateng juga?”

Ada yang berdesir dalam dada Tara, suara Adrian adalah orang terakhir yang diharapkannya untuk ditemui malam ini. “Iya, aku dapat undangannya.”

Untuk beberapa saat suasana kembali sunyi, atau paling tidak bagi Adrian dan Tara. Suara toast gelas yang tadi terdengar berulang-ulang sekarang seperti hilang. Adrian berusaha menyusun kalimat selanjutnya, sedangkan Tara berusaha mencari alasan untuk pergi dari sini secepatnya.

“Ternyata kamu disini hon, ayo ikut—ada seseorang yang mau aku kenalin sama kamu,” panggilan dari seorang gadis bergaun hijau pastel membuat Adrian dan Tara mendongak nyaris bersamaan. Si gadis lantas menyadari bahwa Adrian tidak sendirian disana. “Oh, maaf,” ujarnya sambil tersenyum simpul.

Tara mengangguk pelan menanggapi permohonan maaf si gadis yang sekarang menggamit lengan Adrian manja. Adrian bergeming, belum mengeluarkan kata-kata. “Ini Regina,” ucap Adrian pelan.

“Hai, aku Tara,” Tara mengulurkan tangan, Regina menyambut dengan bersahabat.

“Regina, calon istrinya Adrian. Kamu teman kerjanya?”

Tara tertawa ringan, “Bukan, teman kuliahnya. Just old friend,” 

‘Teman lama yang ditinggalkannya beberapa hari sebelum akad pernikahan.’

Regina ikut tertawa, “Oh, maaf. Pantas saja Adrian tidak pernah cerita soal kamu. Adrian juga pasti lupa mengundang kamu ke pernikahan kami kan? Tanggal 8 bulan depan, nanti aku ambil satu undangannya untukmu ya,”

Thanks. It would be lovely,” setelah mendengarnya, Regina pergi menyapa tamu-tamu yang lain.

‘Akan sangat menyenangkan menghadiri pernikahan orang yang pernah meninggalkanmu tanpa alasan.’

Adrian berdehem, berusaha menarik perhatian Tara yang sekarang memandangi sekeliling. Tara banyak berubah, padahal baru dua tahun mereka tidak bertemu. Semenjak insiden terakhir yang meninggalkan kenangan buruk di antara mereka, Adrian belum berani muncul di hadapan Tara. Rambut Tara yang dulu panjang dan lurus tanpa model apapun sekarang sudah dibuat sebahu dengan ikal dan warna cokelat yang bukan warna asli rambutnya. Tara yang dulu selalu menggunakan gaun panjang ke pesta, sekarang berani berdiri dengan mini dress dan sepatu tumit tinggi. Tara banyak berubah—semakin cantik dan mandiri.

Tara tak sedetikpun mengalihkan pandangan ke arah Adrian. Dia tau dia harus mengendalikan diri, tak perlu ada tangis yang tumpah malam ini. Setahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk merapikan kenangan yang pernah dibuatnya bersama Adrian.

"How's life?" Adrian buka suara, meskipun tau bahwa Tara sedang menghindarinya.

"Lebih menyenangkan," Tara menekankan kata pertama sambil mengangkat sebelah alisnya, seolah-olah lupa pernah melewatkan malam-malam panjang dengan menangis sendirian.

Regina datang lagi, kali ini membawa sebuah undangan yang sudah ia janjikan. "Ini undangan pernikahan kami. Kamu akan datang kan?"

"Desain undangannya bagus. Cantik," Tara mengambil undangan yang disodorkan, melirik ke kolom nama mempelai perempuan. Regina Artawijaya.

Tangan Regina menggamit lengan Adrian, "Ya. Adrian yang memberikan desainnya,"

Adrian membisu, lidahnya tiba-tiba kelu.

"Aku harus pergi, masih ada urusan lain," Bibir Tara bergetar, tangisnya pasti sebentar lagi tumpah. Tidak, tidak akan dibiarkannya Adrian menang kali ini. Dengan tergesa Tara meninggalkan lokasi pesta.

...
Sekitar tiga tahun yang lalu

"Kamu tau satu-satunya perempuan yang akan kucintai setelahmu?"

"Siapa? Selingkuhanmu?"

"Anak perempuan kita,"